Restianafebriarizky's Blog

Artikel Pendidikan

Dampak Adanya UU BHP di Indonesia

Wacana mengenai persoalan pendidikan, khususnya pendidikan di Indonesia merupakan hal yang menarik untuk diperbincangkan. Masalah dalam dunia pendidikan di Indonesia seolah tak pernah ada ujungnya. Mulai dari adanya Undang- Undang Sisdiknas, kurikulum yang terus berganti-ganti, pelaksanaan Ujian Nasional (UN) yang menimbulkan kontroversi, hingga sampai pada biaya pendidikan yang semakin mahal. Dan masalah terakhir yang masih hangat untuk diperbincangkan akhir-akhir ini adalah persoalan UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang banyak mengundang kontroversi, apalagi setelah disahkan pada 17 Desember 2008  oleh DPR RI.

Banyak pihak yang menolak pengesahan UU BHP, terutama di kalangan mahasiswa dan guru. Alasannya, dengan diberlakukannya UU BHP maka biaya pendidikan akan semakin mahal karena pemerintah tidak banyak melakukan intervensi ( campur tangan). Padahal, sejatinya pendidikan itu merupakan hak bagi seluruh warga negara. Jadi, seharusnya pemerintah yang paling banyak bertanggungjawab. Tetapi dengan diberlakukannya UU BHP, maka badan hukum pendidikan yang bersangkutan wajib mencari sumber pendanaannya sendiri yang berasal dari sumbangan, pinjaman, dan hasil usaha mandiri. Sedangkan pemerintah hanya memberikan bantuan dana berupa hibah. Sehingga muncul anggapan bahwa kaum elit akan mendominasi pendidikan dan adanya privatisasi pendidikan dan komersialisasi pendidikan, yang akhirnya berdampak pada biaya pendidikan yang semakin mahal.

Sebenarnya, apakah BHP itu? Dalam UU BHP disebutkan bahwa BHP yaitu sebuah Badan Hukum yang menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu Pendidikan Dasar (SD atau sederajat), Pendidikan Menengah (SMP dan SMA/Sederajat), Pendidikan Tinggi (Perguruan Tinggi baik Universitas, Institut, Akademi, Sekolah Tinggi, dsb). Berbicara mengenai badan hukum, pasti yang terlintas dalam pikiran kita adalah sebuah badan hukum yang berbentuk perusahaan seperti PT, CV, Firma dll yang bergerak dalam bidang jual beli yang tujuan utamanya adalah untuk mencari keuntungan atau laba. Dan badan hukum tersebut dapat juga pailit atau bangkrut.

Lalu, bagaimanakah apabila institusi pendidikan seperti kampus, sekolah tempat di mana kita menimba ilmu dibubarkan karena kepailitan? Bagaimana nasib sekolah-sekolah di desa atau pinggiran yang mungkin susah untuk mencari dana sendiri dan dengan Pendapatan Asli Daerah yang rendah? Bagaimana dan kemanakah kita akan meneruskan pendidikan untuk memajukan bangsa ini? Karena di dalam UU BHP itu sendiri disebutkan bahwa badan hukum dapat dibubarkan dengan alasan pailit, atau asetnya tidak cukup untuk melunasi hutang setelah pernyataan pailit itu dicabut. Itu artinya sebuah institusi pendidikan mungkin dibubarkan karena pailit atau bangkrut. Padahal pendidikan merupakan hal yang sangat pokok untuk menentukan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang berpengaruh untuk kemajuan bangsa ini, maka pembubaran karena kepailitan itu merupakan hal yang seharusnya tidak boleh terjadi pada suatu institusi pendidikan di suatu negara.

Bagaimana dengan nasib penyelenggaraan pendidikan di Indonesia selanjutnya? Kita ikuti saja perkembangannya, semoga saja implementasi dari UU BHP tidak menyebabkan komersialisasi pendidikan, yang dapat membatasi hak-hak masyarakat untuk menikmati pendidikan, termasuk golongan orang yang tidak mampu untuk menikmati pendidikan. Dan jangan merubah tujuan awal dari pendidikan yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

MUTU PENDIDIK YANG MENGECEWAKAN

Tenaga pendidik seperti seorang guru maupun dosen adalah profesi yang sangat mulia karena merupakan salah satu komponen dalam penentu kualitas Sumber Daya Manusia(SDM) di masa depan. Oleh karena itu, sebagai tenaga kependidikan hendaknya mempunyai kualitas, profesionalisme, kreatifitas dan kinerja yang baik. Karena hal itu dapat menentukan tingkat keberhasilannya dalam mencetak anak didiknya yang berkualitas demi kemajuan bangsa ini. Tetapi yang terjadi di Indonesia sekarang ini menunjukan bahwa mutu pendidik yang mengecewakan. Seperti yang dimuat dalam artikel ini disebutkan bahwa  kinerja guru yang tampak meningkat saat mengurus proses sertifikasi. Namun, setelah itu, mereka kembali bertugas seperti semula tanpa ada perbaikan performans. Padahal sebagai seorang guru yang baik, yang telah maupun belum mendapatkan sertifikasi, perlu terus meningkatkan kinerjanya di sekolah, sehingga performansnya dapat terwujud dengan baik.

Tetapi perlu disadari juga bahwa perjalanan sertifikasi pendidik belum dapat berjalan mulus. Misalnya saja, sebagian guru kesulitan dalam memenuhi syarat sertifikasi sebagai syarat dikeluarkannya dana sertifikasi dan sebagian guru sudah memenuhi syarat sertifikasi, tetapi dana sertifikasi belum rutin keluar. Mungkin hal itu juga yang menyebabkan kinerja seorang guru terseok-seok dan tidak ada peningkatan, karena pembayaraan hak-haknya guru pun tersendat-sendat.

Sementara di lain pihak, pendidik di kalangan perguruan tinggi dapat dengan mudahnya menikmati uang sertifikasi. Karena aktifitas dosen bukan hanya mengajar, tetapi menulis buku, membuat proposal riset, meneliti dan sebagainya Sedangkan seorang guru hanya terpatok dengan golongan IV a dan sulit untuk naik golongan lagi. Karena untuk naik pangkat yang lebih tinggi, guru wajib membuat karya ilmiah. Padahal selama ini, guru tidak seperti dosen dan tidak pernah disiapkan sebagai peneliti. Realitas yang terjadi, guru menjadi kurang terhormat karena nyambi pekerjaan di mana-mana, seperti memberi les privat, tukang ojek, bahkan ada yang menjadi pemulung.

Sedangkan untuk pendidik di perguruan tinggi dapat dengan mudahnya mencari uang tambahan. Bahkan Depdiknas menyediakan dana riset bagi dosen hingga 1 trilun, kemudian bagi para dosen yang mau mengirimkan karya ilmiahnya di jurnal internasional diberi dana 30-40 juta per artikel yang akan di muat. Belum lagi iming-iming untuk mengajar di negara tetangga dengan gaji 20-25 juta. Depdiknas kini mampu membayar guru besar setara 13 juta per bulan.

Jadi, kesimpulannya menjadi profesi seorang tenaga kependidikan itu sebenarnya ada enaknya dan ada tidak enaknya. Sebagai contohnya yaitu perbandingan antara guru dan dosen perguruan tinggi seperti yang telah disebutkan di  atas. Oleh karena itu, saya sependapat dengan artikel tersebut bahwa untuk meningkatkan kinerjanya, seorang guru perlu mendapatkan pelatihan, aktif mengikuti seminar atau lokakarya untuk mendapat wawasan, mendapat pelatihan intensif cara membuat proposal penelitian, cara meneliti, dan cara menulis karya ilmiah. Selain itu, Depdiknas harus mengalokasikan dana riset bagi guru dengan topik-topik terkait masalah peningkatan mutu pendidikan. Dengan demikian keinginan guru  untuk dapat meningkatkan performansnya dapat terwujud dan kesejahteraan guru dapat terjamin.

Tinggalkan komentar

KALENDER

Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

my visitor

free counters

ComEnT

Mr WordPress pada My BLog